tk17teladan.sch.id - Masyarakat Indonesia di zaman dahulu giat menanamkan nilai-nilai adat istiadat dan beragam budaya melalui cerita rakyat yang diwariskan secara turun temurun, yaitu berupa dongengdongeng. Buku Cara Pintar Mendongeng, menuturkan bahwa: “Dongeng adalah cerita rekaan yang sering diidentikkan sebagai suatu cerita bohong, bualan, khayalan, atau cerita yang mengada-ada” (Asfandiyar, 2009:19). Cerita rakyat yang mulanya milik suatu daerah saja, kini berkembang dan tersebar sebagai budaya bangsa yang menggunakan Bahasa Indonesia.
Karya Sastra
Karya sastra selalu menarik perhatian karena mengungkap penghayatan manusia yang paling dalam dari kehidupan. Karya sastra merupakan hasil kesenian yang mengetahui dan memasuki pengalaman bangsa, sejarah dan masyarakatnya. Dari segi penciptaannya, karya sastra merupakan aktualisasi dari pemikiran dan perasaan pengarang yang diungkapkan dalam karya sebagai wakil zaman yang dimaksudkan.
Pengajaran sastra anak juga menjadi hal yang penting, karena dengan memberikan pengenalan sastra kepada anak sejak dini akan membuat anak mencintai sastra. Siswa diajak untuk mengenal bentuk dan isi sebuah karya sastra melalui kegiatan mengenal dan mengakrabi cipta sastra sehingga tumbuh pemahaman dan sikap menghargai cipta sastra sebagai suatu karya yang indah dan bermakna.
Karya sastra anak yang merupakan jenis bacaan cerita anak-anak adalah bentuk karya sastra yang ditulis untuk konsumsi anak-anak. Sebagaimana karya sastra pada umumnya, bacaan sastra anak-anak merupakan hasil kreasi imajinatif yang mampu menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan, pemahaman, dan pengalaman keindahan tertentu, misalnya fabel.
Fabel
Fabel adalah cerita binatang yang dimaksudkan sebagai personifikasi karakter manusia. Binatang yang dijadikan tokoh dapat bertindak layaknya manusia biasa. Mereka dapat berpikir, berlogika, berberperasaan berbicara, bersikap, bertingkah laku, dan lain-lain sebagaimana halnya manusia dengan bahasa manusia. Cerita binatang seolah-olah tidak berbeda halnya dengan cerita yang lain, dalam arti cerita dengan tokoh manusia, selain bahwa cerita itu menampilkan tokoh binatang. Karakter-karakter yang terdapat pada binatang tersebut dianggap mewakili karakter-karakter manusia dan diceritakan mampu berbicara dan bertindak seperti halnya manusia. Fabel menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter pada anak sehingga pembelajaran fabel yang diterapkan bermanfaat bagi anak.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan di sekolah yang tidak hanya berujung pada pencapaian kecerdasan intelektual, tetapi juga mengarah pada pencapaian pembentukan karakter, yaitu pengembangan watak positif dalam kehidupan sehari-hari peserta didik. Penanaman pendidikan karakter dalam kegiatan pembelajaran dilakukan dengan cara memberi contoh atau teladan kepada peserta didik mengenai hal yang baik dan tidak baik. Melalui pembelajaran fabel pendidikan karakter dapat diajarkan baik secara tidak langsung maupun secara eksplisit, seperti nilai religius dan moral dapat disisipkan dalam pembelajaran membaca cerita, bermain drama, dan sebagainya. Begitu juga dengan karakter-karakter lain seperti sayang keluarga, sahabat, orang yang lebih tua, dapat diajarkan melalui pembelajaran sastra anak fabel.
Sastra anak sebagai salah satu bentuk karya sastra, wujud pertama dapat dilihat dari bahannya, yaitu bahasa. Dalam pemakaian bahasa, sastra anak tidak mengandalkan satu bentuk keindahan sebagaimana laiknya karya sastra. Yang paling penting untuk ditonjolkan dalam sastra anak adalah fungsi yang hadir bersamanya, yaitu aspek pragmatis. Namun karena berpatok kaku pada tataran ini banyak karya sastra anak Indonesia yang terjebak dalam tema yang itu-itu saja, tidak berkembang, terlebih lagi unsur didaktis yang kuat menimbulkan kesan menggurui dan melemahkan cerita.
Seperti pada jenis karya sastra umumnya, sastra anak juga berfungsi sebagai media pendidikan dan hiburan, membentuk kepribadian anak, serta menuntun kecerdasan emosi anak. Pendidikan dalam sastra anak memuat amanat tentang moral, pembentukan kepribadian anak, mengembangkan imajinasi dan kreativitas, serta memberi pengetahuan keterampilan praktis bagi anak. Fungsi hiburan dalam sastra anak dapat membuat anak merasa bahagia atau senang membaca, senang dan gembira mendengarkan cerita ketika dibacakan atau dideklamasikan, dan mendapatkan kenikmatan atau kepuasan batin sehingga menuntun kecerdasan emosinya.
Ketika anak-anak membaca atau mendengar cerita, mereka bertemu dengan tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam cerita tersebut. Dalam cerita tokoh-tokoh cerita akan berprilaku baik verbal maupun nonverbal dengan maksud mengekspresikan emosi yang dimilikinya seperti sedih, gembira, kesal, terharu, takut, simpati, empati, yang sesuai dengan alur cerita. Anak-anak akan mengidentifikasikan dirinya sebagai tokoh protagonis dan menunjukkan rasa tidak suka kepada tokoh yang mereka anggap tidak sesuai dengan emosi mereka. Tokoh-tokoh yang tidak sesuai dengan emosi pembaca ini disebut dengan tokoh antagonis.
Sastra Anak
Sastra anak pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sastra orang dewasa. Keduanya sama-sama berada pada wilayah sastra yang meliputi kehidupan dengan segala perasaan, pikiran, dan wawasan kehidupan. Hal yang bersifat fokus pemberian gambaran kehidupan yang bermakna bagi anak yang diurai dalam karya tersebutlah yang membedakannya. Sastra (dalam sastra anak-anak) adalah bentuk kreasi imajinatif dengan paparan bahasa tertentu yang menggambarkan dunia rekaan, menghadirkan pemahaman dan pengalaman tertentu, dan mengandung nilai estetika tertentu yang bisa dibuat oleh orang dewasa ataupun anak-anak.
Sastra anak menurut Rukayah (2012:4) adalah karya yang menggunakan media bahasa baik lisan maupun tertulis bentuknya berupa puisi, prosa, maupun drama. Karya tersebut dapat ditulis oleh orang dewasa, remaja, maupun anak-anak, yang secara khusus diperuntukkan pada anak-anak sehingga dapat dipahami anak dan berisi tentang dunia yang akrab dengan anak. Sementara itu, Winarni (2014:2) menjelaskan bahwa sastra anak merupakan karya yang dari segi bahasa mempunyai nilai estetis dan dari segi isi mengandung nilai-nilai pendidikan moral yang dapat memperkaya pengalaman jiwa bagi anak. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sastra anak adalah jenis karya sastra yang diperuntukkan untuk anak-anak dapat disampaikan secara lisan maupun tertulis, dibuat oleh anak-anak atau orang dewasa, menggambarkan dunia anak atau berisi dunia yang akrab dengan anak, serta mengandung nilai pendidikan moral.
Secara sederhana sastra anak mengacu pada karya sastra yang ditujukan untuk anak, menggambarkan dunia anak, dan diekspresikan dengan bahasa yang sesuai dengan perkembangan anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Huck (1987) bahwa sastra anak menggambarkan masalah yang berhubungan dengan kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi anak.
Agar dapat menggambarkan masalah yang berhubungan dengan dunia anak, maka konsekuensi sastra anak bertokoh utama anak, dengan problem-problem khas anak yang dipahami dengan perspektif anak. Dalam hal ini Huck (1987) mengemukakan bahwa siapapun yang menulis sastra anak tidak perlu dipermasalahkan asalkan dalam penggambarannya ditekankan pada kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi mereka.
Winarni (2014:3-4) merujuk pendapat Sarumpaet mengemukakan bahwa ciri pembeda sastra anak dengan sastra orang dewasa ada tiga. Ketiga ciri tersebut berupa (1) unsur pantangan, (2) penyajian dengan gaya secara langsung, dan (3) fungsi terapan.
Karakteristik sastra sebagai bahan ajar relevan sekali dengan misi yang diemban oleh pengajaran bahasa Indonesia. Pengajaran bahasa Indonesia tidak hanya dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemampuan komunikasi anak didik, tetapi juga kemampuan berpikir dan bernalar, daya imajinatif, daya ekspresi, kepekaan emosi, dan memperluas wawasan anak. Misi yang demikian tentu sangat sulit untuk ditunaikan dengan hanya mengandalkan bahan ajar yang bersifat teknik dan ilmiah saja. Di sisnilah letak kedudukan bahan ajar apresiasi sastra, yakni menunaikan misi yang tidak tertunaikan dengan bahan non sastra (Rukayah, 2012:10).
Setiap karya sastra tentu memiliki fungsi bagi penikmatnya. Sastra anak juga memiliki fungsi, yakni fungsi pendidikan dan fungsi hiburan. Lebih lanjut Winarni (2014:5) merujuk pendapat Santosa menjelaskan kedua fungsi tersebut. Fungsi pendidikan pada sastra anak memberikan banyak informasi tentang sesuatu hal, yakni memberikan banyak pengetahuan, memberi kreativitas atau keterampilan anak, dan juga memberi pendidikan moral pada anak. Sementara itu, fungsi hiburan sastra anak jelas memberi kesenangan, kenikmatan, dan kepuasan pada diri anak ketika membaca dan menghayati sastra anak.
Manfaat Sastra Anak Dalam Pembelajaran Dan Pengembangan Bahasa Anak-Anak
Manfaat sastra anak-anak dalam pembelajaran dan pengembangan bahasa anakanak sangat banyak. Rukayah (2012:11) merujuk pendapat May mengemukakan bahwa karya sastra dapat memberi kontribusi dalam pembelajaran, yaitu (1) sebagai alternatif sumber belajar; (2) mengembangkan/ melayani perbedaan individu; (3) memberi kesempatan untuk pengembangan diri (emosi dan konsep); (4) memberi dorongan untuk berlatih membaca secara interaktif; (5) memperkaya bidang kurikulum yang lain; (6) menjadi model dan inspirasi untuk menulis; (7) memberi pengalaman estetis; (8) memberi kesempatan untuk menghayati cara-cara bersosial dengan yang lain; (9) memberi kesadaran untuk bertanggung jawab secara etis.
Tarigan (2011:6-8) merujuk pendapat Roettger menggambarkan bahwa sastra anak memiliki kegunaan bagi anak dan dunianya. Pertama, sastra memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan kepada anak. Nilai seperti ini akan sampai apabila sastra dapat memperluas cakrawala berpikir anak dengan cara menyajikan pegalaman-pengalaman baru dan wawasan-wawasan baru. Kedua, sastra dapat mengembangkan imajinasi anak-anak dan membantu mereka mempertimbangkan dan memikirkan alam, insan, pengalaman, atau gagasan dengan berbagai cara. Karya sastra yang baik dapat membangkitkan rasa keingintahuan sang anak terhadap peristiwa yang terjadi di lingkungan hidup mereka. Ketiga, sastra dapat memberikan pengalamanpengalaman aneh yang seolah-olah dialami sendiri oleh anak. Keempat, sastra dapat mengambangkan wawasan anak menjadi prilaku insani (human behavior). Kelima, sastra dapat menyajikan serta memperkenalkan kesemestaan pengalaman kepada anak. Sastra membantu anak-anak ke arah pemahaman yang lebih luas mengenai ikatanikatan, hubungan-hubungan umat manusia. Keenam, sastra merupakan sumber utama bagi penerusan warisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Pendidikan Karakter Pada Sastra Anak
Pendidikan karakter identik dengan membentuk sikap dan perilaku mulia yang sangat dibutuhkan dalam perkembangan anak pada khususnya (Endraswara 2013:1). Di pihak lain, Abidin (2012:54) mengungkapkan ranah besar pendidikan karakter meliputi pengetahuan tentang moral, perasaan moral, dan aksi moral.
Salah satu cara mengajarkan pendidikan karakter kepada siswa melalui sastra dalam mata pelajaran bahasa Indonesia adalah cerita fabel. Narvaez (2001:56) menyatakan bahwa cerita-cerita harus mampu menumbuhkan sensitivitas moral kepada pembaca. Sensitivitas moral ini menjadi dasar pembelajaran semua siswa. Jika siswa sudah memiliki sensitivitas moral, apa pun yang dipelajarinya akan menjadi pelajaran moral baginya.
Selain itu, Mulyasa (2012:3) menyatakan bahwa pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah benar salah, tetapi bagaimana menanamkan kebiasaan (habit) tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan, sehingga peserta didik memiliki kesadaran, dan pemahaman yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan uraian-uraian mengenai pendidikan karakter, dapat disintesiskan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai karakter bangsa kepada diri peserta didik sehingga membentuk kepribadian dalam agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Lickona (2013: 85), komponen karakter yang baik terdiri dari: (1) pengetahuan moral adalah mengetahui yang baik. Pengetahuan moral meliputi enam aspek yaitu kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan pribadi; (2) perasaan moral adalah menginginkan hal yang baik. Perasaan moral meliputi enam aspek yaitu hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kendali diri dan kerendahan hati; (3) tindakan moral adalah melakukan hal-hal yang baik. Tindakan moral meliputi tiga aspek yaitu kompetensi, keinginan dan kebiasaan. Selanjutnya Pusat Kurikulum Balitbang Kemdiknas (2009:9-10) menyatakan terdapat delapan belas komponen nilai pendidikan karakter yaitu 1) religius, 2) jujur 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat atau komunikatif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca, 16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung jawab. Kedelapanbelas komponen pendidikan karakter tesebut, tidak selalu tercakup dalam satu cerita fabel saja, bisa saja dalam satu cerita hanya ada beberapa komponen saja.
Fabel sebagai cerita pendek berupa dongeng yang menggambarkan watak dan budi pekerti manusia yang diibaratkan pada binatang layak dijadikan bahan ajar untuk menanamkan pendidikan karakter pada anak. Fabel sangat efektif dalam penanaman karakter anak karena di dalam fabel anak-anak bisa meniru tokoh dalam cerita dengan norma-norma yang ideal dan menjadikan sikap dan perilaku tokoh sebagai contoh.
Sumber : Fabel sebagai alternatif pendidikan karakter dalam pembelajaran sastra anak, Husni Dwi Syafutri & Fatma Hidayati
Silahkan tinggalkan komentar Anda di bawah ini :
0 Komentar